Hari ini, tepat 17 Agustus 2022, kita memperingati hari kemerdekaan Indonesia yang ke-77. Tentu saja, di sini tidak akan mengulik tentang heroisme kepahlawanan atau sejenisnya yang sudah umum dan terlalu sering dikumandangkan apalagi dalam instansi formal. Itu lagi… Itu lagi. Artikel ini akan membahas tentang sisi dramatis dan dilematis yang justru bermula dari pendidikan kita sendiri. Yup, sesuai judul artikel: Pendidikan Tak Memerdekakan Bukan Ajaran Ki Hadjar.
Sebelum membaca lebih jauh, ada baiknya saya kenalkan dengan buku Ki Hadjar Dewantara tentang Pendidikan dan Kebudayaan. Karya ini menjelaskan bagaimana Ki Hadjar menjalankan kegiatan pendidikan dan kebudayaan dengan semboyan saktinya yang akan kita bahas nanti. Buku ini bisa didapatkan di Tokopedia dari link ini. Penjelasan dalam buku ini akan mengubah mindset dan mentalset kita semua bahwa pendidikan tak memerdekakan adalah kesalahan.

Ajaran Ki Hadjar yang (Tak) Dirindukan
Ini hal urgent yang harus kita bahas kali pertama jika menyangkut pendidikan mengingat Ki Hadjar sudah sangat banyak mewariskan ilmu, semangat, hingga keteladanan dalam pendidikan dan kebudayaan. Sering kita dengar semboyan sakti berikut.
Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani. Dalam Bahasa Indonesia berarti di depan mampu menjadi teladan, di tengah mampu membangun semangat/niat dan kemauan, di belakang mampu memberikan dorongan
Ki Hadjar Dewantara
Jika semboyan tersebut berjalan dengan baik dalam pendidikan, bangsa ini tak perlu mengelu-elukan kualitas pendidikan di Finland. Buku Teach Like Finland pun gak akan laku nantinya. Namun, bagaimana implementasi semboyan tersebut dalam kehidupan insan pendidikan secara realita? Mari kitas bahas.
Penerapan semboyan Ki Hadjar di atas tidak bisa dimaknai sebagai kalimat yang berdiri masing-masing. Ketiga kalimat tersebut adalah utuh satu-kesatuan. Jika dimaknai secara parsial (terpisah-pisah/berdiri sendiri), justru akan menimbulkan tindakan yang tidak diinginkan. Seperti apa itu? Kita bahas dengan contoh di bawah ini.
Dalam satuan terkecil dunia pendidikan yakni sekolah, yang di depan siswa adalah guru. Jika merunut lagi ke atas, yang di depan guru adalah pemimpinnya yakni kepala sekolah. Ing ngarsa sung tuladha menandakan bahwa kepala sekolah haruslah sosok yang mampu dan mau menjadi figur teladan bagi guru dan tenaga kependidikan yang dipimpinnya. Demikian juga guru. Seorang guru harus mampu dan mau menjadi figur teladan bagi siswa yang dididiknya.
Bagaimana melihat implementasi ini berjalan dengan baik di lingkungan sekolah?
Kebiasaan rutin di sekolah adalah ada kegiatan kebersihan. Dalam hari tertentu juga ada hari Jumat Bersih yang pada awal bel berbunyi semua siswa akan diinstruksikan untuk bersih-bersih lingkungan. Nah, di sinilah kita bisa melihat apakah semboyan ing ngarsa sung tuladha dilakukan oleh para pemimpin dan guru.
Sosok yang menjadi teladan akan tampil di depan untuk mulai mengangkat sapu atau alat kebersihan lainnya dan memberikan contoh langsung di lapangan, terjun bersama para siswa untuk membersihkan lingkungan sekolah yang menjadi “rumah kedua” bagi semuanya. Apakah ini terlihat di lingkungan sekolah dewasa ini?
Saya yakin, bisa dihitung jari untuk menemukan sosok pimpinan dan guru yang mampu melakukan ini. Kebanyakan menikmati momen menjadi mandor dengan menyuruh para siswa untuk bersih-bersih tanpa mau memegang sampah sedikitpun. Ya, inilah bekas tingkah laku kolonial dengan sistem kerja rodinya.
Pelaksanaan semboyan tut wuri handayani yang berarti di belakang memberikan dorongan tidak bisa dilakukan secara parsial tanpa didahului dengan ing ngarsa sung tuladha dan ing madya mangun karsa. Dalam kasus bersih-bersih tadi, alih-alih melaksanakan tut wuri handayani dengan memberikan dorongan pada siswa, tapi malah menjadi kesalahan fatal yang hanya menimbulkan sosok “mandor”, bukan figur teladan.
Begitu juga ing madya mangun karsa yang tak bisa dilepas dari dua semboyan lain yakni ing madya mangun karsa dan tut wuri handayani. Menjadi sosok yang berada di tengah siswa harus mampu merangkul semuanya, tanpa membeda-bedakan kelebihan dan kekurangan personal siswa. Selama masih ada guru yang memarahi siswa hanya karena ia tidak bisa memahami materi yang diajarkan dengan dalih siswa tersebut tidak mampu otak/kemampuannya, selama itu pula semboyan ini tidak bisa berjalan.
Jika guru melihat ada siswa yang memang “berbeda” sehingga kesulitan dalam memahami materi, guru yang mau merangkul di tengah hendaknya memikirkan cara berbeda dalam menjelaskan materi tersebut kepada siswa. Bukan malah memarahi hingga memberikan nilai buruk.
Kalau sudah kebangeten gimana? Jika yang dimaksud kebangeten adalah karena emang saking nakal dan bandelnya, tentu memerlukan perlakuan yang berbeda dengan konsep tadi di mana siswa “berbeda” karena belum bisa memahami materi. Saya harap bisa dimengerti, ya ✌
Sebagai tambahan referensi tentang demokrasi dan kepemimpinan, saya perlu menyampaikan buku berikut.

Buku di atas adalah buku yang ditulis oleh Ki Hadjar Dewantara. Edisi lawas yang sangat khas edjaannya. Kalian bisa mendapatkan buku tersebut di Tokopedia di sini.
Penjajahan Era 4.0 dalam Pendidikan
Dalam paparan di atas kiranya cukup menggambarkan bagaimana sistem pendidikan kita lah yang justru membuka ruang/dimensi tentang konsep penjajahan era 4.0.
Saya juga tak menyangka harus menyebut istilah Penjajahan Era 4.0 yang awalnya era tersebut untuk perkembangan dunia industri dan revolusi society. Di tengah perayaan kemerdekaan Republik Indonesia tercinta ini, tepat ke-77 sekarang, ternyata penjajahan juga masih berkembang.
Kita kembali ke sekolah atau lingkungan pendidikan untuk menilik hal ini. Mungkin diperlukan sedikit flashback tentang masa-masa sekolah dulu kalau ingin membahas ini.
Kita semua pasti merasakan aturan sekolah bahkan ada yang sangat ketat. Memang sudah selayaknya aturan tersebut dibuat untuk dipatuhi siswa. Namun, ada aturan yang seharusnya bisa dipilih dan dipilah sehingga menjadi aturan bersama yang dapat dijalankan oleh semua sivitas dalam lingkungan pendidikan tersebut. Aturan khusus untuk siswa misalnya tentang pemakaian seragam dan atributnya atau sejenisnya.
Untuk aturan bersama, sebut saja tentang aturan siswa harus turun dari kendaraan bermotor setelah memasuki gerbang sekolah untuk menuju parkir di halaman sekolah. Ini bagus, mengajarkan adab. Namun, ini akan berbalik menjadi hal yang lucu sekaligus senjata tajam yang diberikan oleh sekolah kepada siswa jika semua sivitas pendidikan tidak melakukan hal yanag serupa. Aturan itu bisa dilakukan oleh semua orang dalam sekolah baik kepala sekolah, guru, maupun siswa sehingga layak menjadi aturan bersama.
Jika ingin mengajarkan adab, lagi-lagi kembalilah pada ing ngarsa sung tuladha. Pimpinan dan guru harus menjadi teladan terlebih dahulu, baru diikuti siswa. Bukan hanya menjadi aturan bagi siswa. Demikian halnya untuk aturan lain.
Dengan demikian, seharusnya kita mulai sadar bahwa para penguasa yang membuat aturan selalu tajam pada rakyat sebenarnya adalah cermin dari hasil pendidikan kita selama ini di mana aturan sekolah selalu tajam ke siswa.
Etika dalam Kontestasi Merdeka Bicara
Kata berbau etika ini sering sekali menjadi senjata pamungkas bagi sosok yang merasa lebih tua secara usia untuk membungkam kekritisan anak muda. Tak hanya di lingkungan kerja, tapi juga di lingkungan pendidikan.
Ada kasus di mana siswa yang kritis dan sering meminta contoh/teladan secara konkret atau beradu argumen tentang suatu kasus terkait materi pembelajaran, malah dianggap menyudutkan guru. Pernah gak dulu mungkin kalian mendengar ada teman sekelas yang bilang, “Ah, Bu/Pak itu bisanya nyuruh doang. Ngasih contoh langsung paling gak becus.” Yes, and it’s so true fact. Seorang guru yang merasa tersudut seperti itu sejatinya guru tersebut tak pernah mau memperluas pengetahuannya. Dan senjata yang dikeluarkan guru kemudian adalah mengucapkan semacam kata, “Jaga etikamu!” atau “Sopan santunmu mana!” dan seterusnya.
Siswa yang kritis tersebut sesungguhnya sudah memulai memerdekakan pikirannya dengan berani bicara. Namun, ucapan guru yang menjadikan etika sebagai senjata itulah yang kemudian membungkam hak merdeka bicara siswa. Tentu saja ini adalah konsep penggunakan etika secara salah. Etika seharusnya untuk menghormati dan menghargai hak orang lain termasuk hak bicara siapapun. Bukan malah untuk membungkamnya.
Kritik bisa berasal dari manapun dan siapapun, bahkan dari yang lebih muda. Selama kritik itu baik, terimalah untuk menjadi bahan evaluasi dalam memperbaiki diri. Orang yang tidak mau menerima kritik, ia hanya akan tenggelam dalam keburukannya sendiri. Hal tersebut tentu berbahaya jika orang seperti itu memimpin sebuah instansi terutama pendidikan.
Pendidikan Tak Memerdekakan
Instansi pendidikan sudah harus mengkaji ulang arti kemerdekaan. Demikian juga para pemimpin dan guru. Mereka harus biasa dengan kata MERDEKA yang sesungguhnya, bukan hanya sekadar slogan yang kita kenal dengan sebutan Merdeka Belajar dewasa ini. Kata Merdeka hanya akan menjadi slogan semata jika pikiran siswa selalu dituntut layaknya kuli/budak di sekolah yang harus selalu taat pada semua aturan dan perintah.
Para siswa hendaknya diberi ruang untuk menyampaikan uneg-uneg atau pendapatnya agar bisa menjadi bahan evaluasi bagi kemajuan bersama. Berapa banyak sekolah yang menyediakan kotak saran di dalamnya sehingga siapapun bisa memasukkan kritik? Atau memang ketidakberadaan kotak saran karena memang tidak mau menerima kritik?
Pendidikan seharusnya menjadi tonggak untuk kelahiran generasi-generasi dengan kecemerlangan, bukan generasi yang terus mengalami penindasan karena berbagai aturan.
Jika pendidikan tak memerdekakan, lalu dengan apa bangsa ini mau merdeka di masa depan?
Banyak koruptor justru muncul dari kalangan terdidik, bukan dari wong cilik.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa ini negeri para bedebah. Namun, sampai kapan kita membiarkan rakyat susah?
Pendidikan harus mulai membuka diri pada generasi yang ingin mengkritisi para pemimpin yang tak tahu diri
Ini bukan tentang aku, atau kamu.
Tapi ini tentang kita, Indonesia, agar menjadi bangsa yang merdeka dengan sebenar-benarnya.
Andai Ki Hadjar masih hidup dan melihat sistem pendidikan tak memerdekakan seperti sekarang, menurutmu bagaimana reaksi beliau? Tuliskan di kolom komentar ya 😁.